(Ditulis Oleh: Sutan Zaitul Ikhlas)
Lelaki tua itu duduk bersila di peladang (Teras) rumah panggungnya sore itu. Ia sepertinya mendengar dan menyimak keramaian para warga yang berbincang dari dalam tenda tentang Lindu yang masih terus menggoyang hingga kedahsyatannya yang terjadi Minggu malam lalu.
Seraya menarik dalam-dalam rokok Jontalnya (Daun Lontar), ia sesaat mengingat kalau moyang tetua dulu telah mencermati perihal gempa bumi, terutama dikaitkan dengan struktur rancang bangun rumah panggung Sumbawa.
Lelaki tua yang belakangan diketahui bernama Papen Mek tersebut sesaat tersenyum untuk kemudian dari bibir kerutnya terlantunn Lawas berisi tentang perlunya penguatan agama terhadap perilaku individu dan kelompok untuk mengendalikan dampak-dampak buruk dari pergeseran tatanan nilai dalam masyarakat.
Ooo,…Sarea Rama Peno
Tutusi Rea Bala Ta
Onang Tusanadi Ingat
Kotanang De Tu Boat
Ooo,…Sarea Rama Peno
Tungeneng Ko Tu Bajatu
Boat Gama Ade Balong
Umin Desa Darat Ko Mudi.
Papen Mek Dan Kokohnya Rumah Panggung Sumbawa
Gempa hebat berkekuatan 6,9 Magnitudo pada Minggu malam (19/8) lalu telah mengakibatkan ribuan rumah rusak di Kabupaten Sumbawa Barat. Namun tidak bagi sebagian warga yang tinggal dirumah panggung. Kalaupun ada, bangunan hanya bergeser atau miring kesalah satu arah. Fakta ini membuktikan bahwa tidak selamanya peninggalan nenek moyang itu kuno dan ketinggalan zaman. Inovasi beton yang disebut-sebut sebagai bahan yang kuat, nyatanya kalah dari pilihan nenek moyang kita dulu yang memanfaatkan kekayaan alam di sekitar.
Ahmad (70), salah seorang pemilik rumah panggung di Lingkungan Menala Kelurahan Menala Kecamatan Taliwang mengaku saat gempa mengguncang pekan lalu, rumah yang ditempatinya bergoyang tapi tidak signifikan. Ia bersama anak, menantu dan beberapa orang cucunya hanya berdiam diatas rumah.
” Takut pasti ada. Tapi saya cepat sadar kalo rumah panggung dirancang tahan gempa, hanya bergoyang-goyang saja” kata kakek yang akrab dipanggil papen Mek ini.
Papen Mek mengatakan rumah panggung yang dihuni tersebut warisan turun temurun dari leluhurnya. Seiring perkembangan jaman, anak dan menantunya menyempurnakannya tanpa menghilangkan makna kearifan lokal dengan kayu-kayu pilihan seperti Kayu Jati, dan Kayu Bunger untuk tiang penyangga, Perteng, Jelika dan siku -siku. Kayu Rimas untuk lantai dan dinding serta kayu kuken atau kayu sepang untuk pasak atau baji. Sementara pemasangannya menggunakan sistem struktur rangka pemikul dari bahan kayu, berkaitan antar komponen.
Skala gempa yang mengguncang pekan itu bagi lelaki tangguh ini tak beda jauh dengan goncangan gempa Tsunami Lunyuk yang pernah dirasakan tahun 1977 silam. Melihat kondisi tersebut ia sesaat mengingat kalau moyang tetua dulu telah mencermati perihal gempa bumi, terutama dikaitkan dengan struktur rancang bangun rumah panggung Sumbawa.
” Kebiasaan orang tua saya dulu, ketika gempa berakhir selalu memeriksa baji atau pasak disetiap tiang yang ada. Kebiasaan itupun berlanjut hingga saat ini, ketika ditemukan ada baji yang longgar atau keluar dikembalikan lagi keposi asalnya dengan cara di pukul,” ujarnya.
Dia tak menampik, kehidupan masyarakat zaman dulu memang sangat menyatu dengan alam sehingga perilaku alam menjadi perhatian. Gempa menjadi salah satu pemicu mereka untuk membuat rumah yang aman dan nyaman. Rumah dibangun dengan pengetahuan turun-temurun yang terus disempurnakan.
Kini keberadaan rumah panggung di Kabupaten Sumbawa Barat khususnya Kecamatan Taliwang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kalah saing dengan jumlah rumah modern yang menjulang angkuh mengejek. Padahal rumah panggung sangat kaku dan kokoh seperti perahu di laut. Jika terjadi gempa, dia hanya bergeser ke kanan dan ke kiri mengikuti melawan gempa, namun ramah terhadap gempa.
” Jadi kalau diibaratkan seperti pertandingan beladiri, rumah panggung itu filofosinya sama dengan pendekar silat sejati yang lihay mengelak, lentur dan dinamis . Bukan seperti pendekar karate, Taekwondo atau Boxer yang hanya kuat melawan kuat,” cetus Papen Mek.
Saat ini dimana Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat tengah memulai membangun kembali rumah warga yang roboh pasca diguncang gempa, desain teknis pembangunan rumah sebisa mungkin kembali kepada kearifan lokal. Dana program rehabilitasi yang disalurkan sebesar Rp. 10 – 50 juta pun harus mampu dimanfaatkan dengan membangun rumah tahan gempa.
Ya, desain rumah panggung bisa jadi pilihan warga terdampak gempa yang saat ini merencanakan pembangunan rumah barunya.
Material bangunan berupa kayu memengaruhi ketahanan rumah itu karena memiliki kelenturan terhadap guncangan gempa.
Dengan rumah yang mampu bertahan dari guncangan gempa, keselamatan jiwa penghuninya juga lebih terjamin, sehingga korban jiwa bisa ditekan jika bencana terjadi sewaktu-waktu. Alhasil ini juga bisa dijadikan suatu pilot project oleh pemerintah setempat atas pembangunan rumah panggung tahan gempa tersebut.
Komentar
5 komentar