Oleh : Julhan Sifadi, Sekjen Jurnalis Online Indonesia (JOIN).
Pernakah mendengar kata diagnosis? Kata ini sukses dipopulerkan oleh dunia medis, walaupun ilmu pengetahuan, teknik, atau bisnis juga kerap memakai kata ini.
Menurut Thorndike dan Hagen dalam Suherman (2011), diagnosis dapat diartikan sebagai pertama, yaitu upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang seksama mengenai gejala-gejalanya.
Kedua, studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial.
Ketiga, yaitu keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang seksama atas gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.
Dari tiga defenisi tersebut, secara umum diagnosis dapat diartikan sebagai identifikasi mengenai sesuatu.
Di dunia medis, diagnosis merupakan tahapan wajib yang dilakukan dokter kepada pasien sebelum melakukan tindakan medis. Pada tahapan itulah akan diketahui jenis penyakit yang dialami pasien agar tepat dalam pengobatan atau pencegahan.
Lalu apa hubungannya dengan Hoax yang marak disuarakan saat ini? Karena Hoax ibarat penyakit yang butuh diagnosis. Butuh dikenali sebelum dicegah atau diberantas. Karena mustahil mencegah dan memberantas Hoax tanpa mengenalnya.
Hoax ibarat virus yang masuk dari berbagai arah dengan daya sesat dan daya rusak yang luar biasa. Bahaya Hoax makin masif seiring dengan jumlah pengguna media sosial, internet, smartphone yang terus tumbuh.
Setiap pengguna internet, wajib mengenal Hoax. Terlebih kini pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undangnya tersendiri yang bisa berujung pidana bagi para penyebar Hoax.
Lantas? Apakah Hoax itu?
Menurut Robert Nares, kata Hoax muncul sejak abad 18 yang merupakan kata lain dari “hocus” yakni permainan sulap.
Menurut Lynda Walsh dalam buku “Sins Against Science”, Hoax merupakan sebuah istilah bahasa Inggris yang masuk sejak era industri sekira pada 1808.
Kata “hoax” berasal dari kata “hocus” dari mantra “hocus pocus”. Kata ini diyakini telah ada sejak ratusan tahun lalu.
Dalam “Museum of Hoaxes”, Alexander Boese mencatat hoax pertama yang dipublikasikan adalah almanak (penanggalan) palsu yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709.
Kala itu ia meramalkan kematian astrolog John Partridge. Agar meyakinkan, ia bahkan membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya.
Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Partridge di mata umum. Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga enam tahun setelah hoax beredar.
Namun demikian, banyak pula situs yang menyebutkan bahwa kata Hoax pertama kali digunakan oleh para netizen berkebangsaan Amerika. Hal ini mengacu pada sebuah judul film “The Hoax” pada tahun 2006 yang disutradarai oleh Lasse Hallstrom.
Film ini dinilai mengandung banyak kebohongan, sejak saat itu istilah ”hoax” muncul setiap kali ada sebuah pemberitaan palsu.
Dalam bahasa Inggris, Hoax dibaca Hoks artinya berita palsu. Sebutan lainnya dalam bahasa Indonesia adalah kabar burung.
Sebuah pertanyaan menarik dari kata Hoax ini setelah lahirnya UU ITE yaitu apakah setiap berita bohong dapat dikategorikan Hoax? Termasuk berbohong sedang makan direstoran padahal makan singkong rebus di rumah???
Mengapa menarik? Karena setiap pelaku penyebar hoax bisa terancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE. Di dalam pasal itu disebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik” ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.”
Pada UU No. 11 Tahun 2008 tersebut tidak menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”.
Jika UU ITE hanya menggunakan kata “berita bohong” sejatinya pelakunya sudah bisa dipidana megacu pasal 390 UU Humum Pidana (KUHP) tanpa UU ITE. Tetapi istimewanya UU ITE ini adalah mencantumkan frasa yang berbeda yakni “menyebarkan berita bohong” dan kata “menyesatkan”. Dalam frasa “menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibatnya.
Jika ditarik per frasa dan kata, maka yang dapat dipidana sesuai UU ITE yaitu harus memenuhi empat unsur. Yaitu setiap orang, dengan sengaja dan tanpa hak, menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, dan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Unsur yang terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus mengakibatkan suatu kerugian konsumen. Artinya, tidak dapat dilakukan pemidanaan, apabila tidak terjadi kerugian konsumen di dalam transaksi elektronik.
Bagaimana mencegah berita Hoax?
Pertama, berhati-hatilah dengan judul provokatif karena berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax.
Jika menjumpai berita dengan judul provokatif, carilah referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda.
Kedua, cermati alamat situs, jika beritanya memuat URL situs dimaksud.
Ketiga, periksa fakta, perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi? Lalu perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Amati pula perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif.
Mari jadilah pembaca dan pengguna teknologi yang cerdas.
Komentar
Komentar ditutup.